Dari semua langkah-langkah untuk melanjutkan sekolah di Australia sudah banyak yang menuliskannya, mulai dari bagaimana cara meraih beasiswanya, predeparture training sampai urusan packing dan segala macamnya. Hanya tinggal gugling saja. Tapi bagi segelintir orang yang terkendala masalah medical checkup seperti saya, hal yang paling mungkin adalah visa belum akan bisa di-approve kecuali para visa applicantnya menjalani treatment dengan dokter paru selama 6 bulan dan menyebabkan keberangkatannya ditunda/defer. Persyaratan agar visa disetujui salah satunya adalah x-ray harus bersih dari indikasi tuberculosis.
“Should you have Tb, you will not be permitted to visit Australia until you have completed recommended treatment and successful re-testing.”
Link: health clearance to come to Australia
***
Waktu itu tanggal 9 Oktober 2013. Hari dimana hampir berakhirnya predeparture training 3 bulan. Ada email masuk sore-sore dari mas Ponco, ADS officer: “Mohon dengan segera menghubungi pihak Medikaloka dikarenakan Ibu harus melakukan medical checkup tambahan”. Medikaloka waktu itu adalah klinik tempat screening health yang ditunjuk oleh kedutaan.
Ternyata hasil Medical checkup saya dinyatakan berstatus TB lung suspect=active. Lalu saya diminta setelahnya untuk datang berkonsultasi dengan dokter paru di Medikaloka. Seorang dokter spesialis paru yaitu dokter Alia Harris, memutuskan bahwa saya harus menjalani treatment, kontrol sebulan sekali dan minum antibiotik tanpa putus selama treatment tersebut. Memang katanya seperti itu pengobatannya agar bakterinya tidak menjadi resisten. Padahal vonis TB lung suspect active tersebut hanya berdasarkan dari x-raynya saja, sedangkan dari tes kultur dahaknya sendiri negatif. Tapi untuk saya pribadi, treatment ini bukan hanya menyangkut masalah defer kuliah tapi juga efek kerja liver kita apabila harus minum obat (masih belum rela hehehe), dari pengalaman saya sebagai seorang ibu mungkin diagnosa & resep dari dokter tidak bisa saya percaya 100% (kebanyakan baca teori “rational use of medicine” & berita malpraktik/ wanprestasi, hehehe maaf ya bagi yang disini profesinya tenaga medis). Yang saya tahu obat TB itu keras, harus dispesifikasi ke masing-masing pasiennya.
Pada hari itu juga di Medikaloka, saya bertemu dengan awardee lainnya yang sedang menjalani treatment paru. Mungkin berbeda dengan awardee yang lain yang langsung menyatakan OK untuk langsung menjalani treatment, saya ragu dan selain itu saya mendengar kabar bahwa medikaloka sudah tidak lagi terdaftar sebagai tempat health screening yang ditunjuk oleh kedutaan Australia, dan itu dibenarkan oleh email berikutnya dari Mas Ponco bahwa bulan November pada saat itu adalah bulan terakhir Medikaloka melayani medcheck untuk keperluan visa Australia. Hal yang lain, saya merasa tidak merasa punya gejala seperti yang ditunjukkan oleh penyandang penyakit tersebut: batuk2, berat badan merosot tajam (akhir-akhir ini berat badanku ini malah meningkat sangat tajam 😥 ), dll. Hasil medical checkup saya terdahulu untuk keperluan pengangkatan CPNS menjadi PNS juga tidak menunjukkan tanda apapun.
Bagaimanapun saya tidak ingin mendapat masalah, tetapi saya sudah mengira memang visa tidak bisa keluar. Dan praktisnya ya tinggal mengikuti prosedur treatment ini saja namun saya ingin konsultasi dulu dengan pihak ADS mengenai kemungkinan bisa menjalani medical checkup di tempat lain (second opinion). Apakah hal itu diizinkan oleh ADS/ kedutaan? Ternyata bole, tetapi katanya sistem global health atau e-Health mungkin sudah diotorisasikan dari kedutaan kepada satu tempat saja, jadi tetap mereka yang ditunjuk yang bisa mengupdate record kita. Artinya kalau kita mencari tempat lain untuk berobat , akan butuh waktu lebih lama prosedur treatment yang dijalani yaitu sekitar 8 bulan (karena biasanya RS yang baru akan cek dahak kita lagi yang memakan waktu 2 bulan) dan defer hanya diberikan maksimal 2x oleh ADS.
Lalu bagaimana dengan biayanya, saya ingin tahu detailnya yang mana yang sebenarnya yang dicover dan mana yang tidak dicover. Hal ini belum pernah dijelaskan kepada kami. Saya tahunya dari awardee yang lain, bahwa sekali menjalani treatment di medikaloka menghabiskan biaya sekitar Rp 800.000. Dokter Lin, dokter umum di Medikaloka mengatakan bahwa semua dicover oleh ADS. Membingungkan. Pada waktu cek darah di awal follow up di bulan November, saya diminta kasirnya untuk konfirmasi via telepon ke ADS apakah pemeriksaan yang tadi masih dicover atau tidak, sepertinya mereka sendiri ragu karena pada bulan November saat itu menurut mereka sudah tidak dicover ADS. Akhirnya jelas sudah dari ADS bahwa untuk follow up treatment di luar general checkup, kita sendiri yang menanggung.
Dengan menyemangati diri sendiri, saya tebus juga obatnya. Setengah hati. Saya ini kan sehat-sehat saja. 😦
Yah.. mungkin memang para dokter punya golden standard akan gejala penyakit-penyakit. Jadi meski kita merasa sehat dan hasil dahak negatif, dengan hasil xray saja, dokter bisa mendiagnosa bahwa kita terinfeksi. Yah.. mungkin juga diagnosis baru bisa ditegakkan setelah ada pengobatan beberapa bulan. Yah… Mungkin memang kontrol itu penting utk tahu perkembangan kita. Dan sebagai pengingat aja kalau kita masih under treatment. Takutnya kalau dilepas, kita lalai berobat. Selain itu, semoga dokter juga bertanggung jawab membuat laporan tentang perkembangan kita… Mungkin memang ada bagian dari diri yang bermasalah, perlu diperbaiki. Yah…yasudahlah bismillah saja. Lahawla walakuwwata Illabillah…
Hmm cuma dihitung hitung kok ngemodal juga yaa… Mana ASKES gak laku pula di klinik ini. Ini saya coba rinci… yang paling mahal ada di tes dahak, kabarnya sekarang tarifnya sudah naik lagi:
- Obat (tergantung dosis): bagi penderita TB yg baru pertama kali (bukan kambuh) biasanya:
- Rifampicin 500-600 mg/hari
- Etambutol 500 mg/hari
- INH 300 mg/hari
- Pyrazinamide 500 mg/hari
- Obat 4 jenis diatas hanya diresepkan untuk 2 bulan pertama, 4 bulan sisanya hanya 2 jenis saja: Rifampicin dan INH
- Total biaya obat tersebut perbulan untuk 2 bulan pertama tidak sampai 200rb kalau beli di apotik luar. Kalau di Medikalokanya bisa sampai 300ribuan, meskipun obatnya sama-sama generik. Saya ingin membandingkan jadi saya tebus diluar tapi sayang yang Etambutol baru dapet lengkap setelah muter-muter di 4 apotik: di kimia farma dan guardian gada, di century cuma ada 1 strip (buat 5 hari doang), baru dapet lengkapnya di apotik senopati lah padahal inilah yang paling dekat kantor… ngapain muter-muter dulu yaa hehe. Jadwal konsultasi dengan dokter selanjutnya adalah sebelum obat sebulan habis.
- Konsultasi per pertemuan di medikaloka: 275rb. Kalau ‘konsultasi’, saran saya sebulan sekali biar tidak boros. Karena dokter paru di medikaloka tembak langsung 2 minggu sekali. Padahal sama saja. (sebelumnya dokternya minta untuk kontrol 2 minggu sekali di 2 bulan pertama, tapi saya nawar sebulan sekali aja karena sama aja dateng cuma ditanya keluhan dan diresepin obat baru, udah gitu doang hehe.. kalau buat saya, dokternya kurang banyak ngasih info kecuali kalau kitanya sendiri yang mencecarnya dengan pertanyaan)
- Penjadwalan untuk X-ray dilakukan bulan ke 2, 4 dan 6. X-ray biayanya Rp 395.000
- fakta yang agak pahit: tes kultur sebanyak 3x biayanya Rp 1.038.000
Hasil Chest X–Ray (CXR):
Alhamdulillah hasil labnya selalu negatif. Alhamdulillah….
Tapiiii …… tetep aja prosedur treatment harus tuntas sampai 6 bulan. Saklek.
Sebel banget gak sih? Iya sebel. 😥 …Tapi masih bersyukur juga karena klinik Medikaloka ini terbilang deket lokasinya sama kantor, ga terbayang untuk awardee yang domisilinya di luar jabodetabek.. duh bolak baliknya kayak apa… tiketnya sama akomodasinya itu loh. Hmmm…. Misal kita ga ada keluhan apa2, ya setiap habis ketemu dokter, kita jadi positif aja bahwa kondisi kita baik. Emang prosesnya panjang dan mahal. Tapi sekarang saya sudah pada tahap: jalani aja. Toh demi kebaikan kita juga. Semakin kita denial, semakin kita merasa sebel banget dalam hati berbulan-bulan, haha….
Nah jadi buat yang mengalami kasus seperti saya, sabar dan semangat ya kawan. Dijalanin, dinikmati aja 🙂
Penting tentang defer/penangguhan: Dari jumlah account email yang dikirim mas Ponco ada sekitar 20-an orang yang punya kasus yang sama, salah satunya yang saya tahu ada juga tenaga medis yang memang lebih beresiko tertular pasien. Mengingat kami sudah mendapat offer dari universitas dan mengurusi passport biru (untuk PNS), pihak ADS akan mengeluarkan surat resmi defer dan merevisi scholarship detail kami (lembar halaman 10 di kontrak). Stipend/uang saku yang didapat selama menjalani predeparture training tidak diberikan lagi bagi yang menjalani defer.
Note: Mulai intake 2014, beasiswa ADS berubah nama menjadi Australia Award Scholarship (AAS)